(Bacaan Injil Misa Kudus, Peringatan S. Gregorius Agung [540-604], Paus-Pujangga Gereja, Sabtu 3-9-11)
Pada suatu hari Sabat, ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum, menggosoknya dengan tangan mereka dan memakannya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata, “Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Lalu Yesus menjawab mereka, “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam? Kata Yesus lagi kepada mereka, “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Luk 6:1-5)
Bacaan Pertama: Kol 1:21-23; Mazmur Tanggapan: Mzm 54:3-4,6,8
Secara teknis, tindakan memetik bulir gandum itu melanggar hukum Musa (lihat Kel 20:8-11). Tentunya berdasarkan apa yang ditulis dalam kitab Keluaran itu, orang-orang Farisi merasa dibenarkan dalam menuduh para murid Yesus melanggar peraturan hari Sabat. Yesus menjawab pertanyaan orang-orang Farisi itu dengan mengacu kepada bacaan Kitab Suci (1Sam 21:1-6) yang menceritakan apa yang dilakukan oleh Raja Daud sendiri dalam situasi yang khusus, agar orang-orang Farisi itu mengerti sedikit apa tujuan sebenarnya dari hukum Sabat. Orang-orang Farisi ini begitu disibukkan dengan adat-istiadat serta disiplin agama mereka sehingga mereka lupa mendalami tujuan sebenarnya dari hukum itu, yaitu untuk mengasihi Allah dan sesama manusia.
Di lain pihak, kita pun harus berhati-hati untuk tidak cepat-cepat menyalahkan orang-orang Farisi. Mereka sebenarnya mencoba untuk menjaga tradisi-tradisi Yahudi di tengah-tengah suatu krisis nasional pada masa itu. Kekaisaran Romawi menduduki wilayah Palestina untuk waktu yang lama, sehingga tidak sedikit orang Yahudi yang terpengaruh oleh praktek-praktek kekafiran orang Romawi. Mereka menukarkan iman-kepercayaan mereka dengan filsafat-filsafat yang berpusat pada manusia. Bagi kaum Farisi, satu-satunya batasan dalam rangka memelihara dan menjaga identitas bangsa Yahudi, adalah penerapan hukum Musa secara ketat. Namun sayang saja jalan yang mereka tempuh di tengah masyarakat keliru, teristimewa dalam pengungkapannya.
Sepanjang sejarah, legislasi moral yang kaku itu bersifat opresif dan ujung-ujungnya membuat orang-orang merasa bersalah dan merasa tidak dikasihi. Dalam kelemahan kita sebagai manusia, praktis kita tidak dapat mentaati hukum Allah yang adil. Mengharapkan diri kita sendiri dan orang-orang lain untuk memperoleh keselamatan melalui tindakan-tindakan sesungguhnya bertentangan dengan pesan Yesus. Dalam upaya mereka untuk mendorong hukum Yahudi, banyak orang Farisi menjadi orang-orang yang bersikap suka menghukum dan menuduh – hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan Allah dalam hukum-Nya.
Upaya untuk mengikuti jalan-jalan Allah seturut kekuatan kita sendiri merupakan sebuah beban dan pasti akan menuju kegagalan.Efek-efek dari dosa asal telah melumpuhkan kemampuan kita untuk memenuhi tuntutan-tuntuan hukum. Inilah sebabnya mengapa Yesus datang ke dunia: Demi kasih-Nya Dia ingin menebus kita. Oleh karena itu, marilah kita membuka diri kita bagi Kabar Baik yang diwartakan-Nya. Sadar akan kenyataan bahwa kita tidak mempunyai harapan untuk mampu mengikuti hukum-Nya berdasarkan kekuatan sendiri, maka kita dapat menemukan Dia dalam doa-doa kita, dalam sakramen-sakramen dan dalam pembacaan dan permenungan sabda-Nya yang terdapat dalam Kitab Suci. Dia akan memimpin kita dalam jalan-jalan-Nya dengan hati baru yang mencerminkan hati-Nya.
Santo Gregorius Agung. Hari ini Gereja Katolik memperingati Santo Gregorius Agung, seorang paus dan pujangga Gereja yang memegang tampuk pimpinan Gereja tahun 590-604. Dia adalah putera seorang senator Roma dan hal ini berarti bahwa dia berasal dari keluarga bangsawan (atau patrisian). Dia memulai karir sekularnya di bidang pemerintahan. Pada tahun 573 Gregorius diangkat menjadi prefek (
praefectus urbi) kota Roma, namun karir yang kelihatannya bagus sekali ini diakhirinya dengan cepat. Mengapa? Karena tidak lama kemudian Gregorius memutuskan untuk ‘meninggalkan dunia’ dan menggunakan warisannya yang besar jumlahnya untuk mendirikan tujuh biara monastik bagi para rahib: enam buah di Sisilia dan satu di Roma di atas tanah miliknya sendiri.
Gregorius melepaskan segalanya demi Allah. Dia mengikuti ‘jalan perendahan’ yang telah dicontohkan sendiri oleh Tuhan dan Gurunya, Yesus Kristus.
Gregorius bergabung dengan komunitas biara Roma ini si sekitar tahun 574. Pada tahun 578 Paus Benediktus I mengangkatnya menjadi diakon. Satu tahun kemudian Paus Pelagius II mengutusnya ke Konstantinopel (sekarang: Istambul) sebagai apochrisarius atau duta, dengan harapan memperoleh bantuan dari kekaisaran Byzantium (Timur) dalam melawan serangan orang-orang Lombard. Selama berada di Konstantinopel, dia memperoleh pengalaman berharga dalam hal berurusan dengan Kekaisaran Timur, namun dia merasakan bahwa Kekaisaran Timur tidak akan menolong Kekaisaran di Barat (Latin). Gregorius pulang ke Roma sekitar tahun 585, kemudian menjabat sebagai abbas dari Biara S. Andreas di Roma, biara yang didirikannya lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Paus Pelagius II wafat pada tahun 590, dan Gregorius terpilih sebagai penggantinya dengan suara bulat. Dia mencoba untuk menghindarkan diri dari pengangkatan dirinya menjadi paus, namun tidak berhasil. Dengan hati enggan, dia diangkat sebagai paus Gregorius I pada tanggal 3 September 590.
Sebagai seorang Gembala tertinggi Gereja Katolik, Gregorius membuktikan bahwa dirinya adalah seorang negarawan ulung. Dia melakukan banyak hal yang menyangkut kelangsungan hidup Gereja. Dia juga menulis banyak buku dalam bidang pastoral, tafsir Kitab Suci dan 40 homili/khotbah dan lebih dari 850 pucuk surat. Dia adalah pemimpin Gereja yang rendah hati secara benar-benar tulus, dan menamakan dirinya Servus Servorum Dei (Abdi para abdi Allah). Julukan ini tidak pernah ditinggalkan oleh para paus sampai hari ini.
Gregorius wafat pada tanggal 12 Maret 604 dan dia diangkat secara popular sebagai orang kudus Gereja setelah kematiannya. Gereja mengangkatnya menjadi seorang Pujangga Gereja. Bersama Paus Santo Leo I [memerintah tahun 440-461], Gregorius I merupakan dua orang pengganti Santo Petrus yang diberi gelar ‘Agung’. Santo Gregorius Agung dihormati sebagai pelindung para penyanyi gereja (Ingat istilah “lagu-lagu Gregorian”?).
DOA: Bapa surgawi, terima kasih penuh syukur kami haturkan kepada-Mu karena Engkau menyediakan satu hari setiap pekan agar kami dapat berdiam bersama-Mu. Terima kasih untuk Roh Kudus yang Kauutus, yang memampukan kami untuk menjadi semakin dekat dengan diri-Mu. Amin.
Cilandak, 2 September 2011 [Peringatan para martir Fransiskan pada masa Revolusi Perancis]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS